Salah satu siamang yang berada di WRC Jogja (dok. timewa)
KULON PROGO (kabarkota.com) – Sejatinya, keberadaan satwa liar di alam bebas mampu membantu manusia dalam menjaga keseimbangan alam. Salah satunya ekosistem hutan yang akan terjaga dengan baik siklus dan regenerasinya karena anekaragaman hayati, satwa dan tumbuhan yang hidup di dalamnya mampu menghasilkan oksigen, mata air,serta menjaga suhu udara tetap stabil.
Sayangnya, ulah sebagian manusia yang melakukan perburuan satwa liar terutama yang dilindungi, untuk diperdagangkan maupun dipelihara secara ilegal, membuat binatang-binatang liar yang semestinya hidup di habitatnya dengan aman, menjadi terusik, terluka, bahkan trauma hingga mengalami perubahan perilaku.
Ini yang mendorong Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY) membuat project Wildlife Rescue Center (WRC), sejak 2010 lalu. pada 2010. Organisasi non-pemerintah yang dulunya lebih dikenal dengan Pusat Penyelamatan Satwa Jogja (PPSJ) ini memiliki aktivitas utama yakni merehabilitasi dan merawat satwa-satwa liar, terutama hasil sitaan negara.
“Satwa-satwa yang ada di sini adalah hasil law enforcement, perdagangab ilegal, kepemilikan ilegal, serta satwa yang dilindungi namun ditemukan masyarakat dalam kondisi mengalami luka ataupun trauma,” jelas animal health and welfare Manager, Irhamna Putri R, saat ditemui kabarkota.com, di WRC Jogja, 25 Agustus 2018.
Menurutnya, dari 150-an satwa yang berada di WRC Jogja saat ini, mayoritas adalah primata. Selain juga ada berbagai reptil, raptor, dan aves. Namun dari jumlah tersebut, 80% diantaranya sudah tak layak dilepasliarkan, karena trauma berat dan mengalami perubahan perilaku dan kebiasaannya. “Hewan yang sudah bertahun-tahun dipelihara oleh manusia menjadi kehilangan sifat liarnya,” sesal Irna. Seekor Orang Utan yang ada di WRC Jogja. (Dok. Istimewa)
Ketika satwa masuk ke WRC Jogja, selain langkah penyelamatan, pihaknya juga melakukan assignment dan rehabilitasi, sebelum nantinya diputuskan dikembalikan ke habitatnya atau menjadi permanent residence di sini. Mengingat besarnya biaya pengembalian ke alam untuk satwa jenis mamalia besar, seperti primata dan beruang, maka yang kemudian dilakukan oleh WRC Jogja adalah opsi trans lokasi ke tempat-tempat konservasi lain. Itu pun, kata Irna, sekarang sulit mendapatkan “tempat perlindungan baru” bagi Orang utan, Owa, Makaka, maupun Siamang dari Jawa.
Di sisi lain, WRC Jogja juga terkendala masalah keuangan yang terbatas. Dalam sebulan, sedikitnya Rp 100 juta harus dikeluarkan operasional, dalam kondisi hewan-hewan liar di sana tidak bermasalah. Meski begitu, untuk satwa-satwa kecil, seperti burung, kucing hutan, dan aneka reptil sering dirilis ke alam kembali, setelah melewati masa rehabilitasi, dengan tetap dimonitoring guna memastikan keamannya di alam bebas.
Guna menutup besarnya biaya bulanan tersebut, WRC memiliki sejumlah program rutin untuk mendukung pendanaan mereka, antara lain Animal Care dan Volunteer. Animal Care merupakan program edukasi tentang satwa liar. Caranya, dengan membagi suatu rombongan menjadi beberapa kelompok, kemudian mereka diajak berkeliling, sembari dijelaskan tentang tiap satwa di sana. Sedangkan program Volunteer adalah program wisata minat khusus berbayar selama satu minggu yang memfasiltasi pesertanya untuk merasakan kehidupan animal keeper. Irna (kanan) bersama timnya saat melakukan penyelamatan reptil di WRC Jogja (dok. Istimewa)
Selain itu, di atas lahan seluas 13 Hektar yang berada di Dusun Paingan, Desa Sendangsari, Kecamatan Pengasih, kabupaten Kulon Progo, DIY itu, mereka juga menyewakan area penginapan, meeting room, dan outbond untuk umum. Hanya saja, khusus untuk lokasi rehabilitasi satwa, tidak bisa setiap orang bisa memasukinya, tanpa izin dan pendampingan dari petugas WRC Jogja. Irna (kiri) tengah malakukan pemeriksaan terhadap salah satu satwa di WRC Jogja. (Dok. Istimewa)
“Kami sengaja menghindarkan satwa dari kontak langsung maupun tak langsung dengan manusia,” tegasnya. Hal itu karena berpotensi membuat hewan-hewan di sana stres, serta tertular penyakit. Terlebih, orang utan memiliki karakter seperti manusia yang bisa menderita hepatitis, dan sebagainya. Jika itu sampai terjadi, maka akan semakin memperlama proses pemulihannya.
Lebih lanjut, Irna berharap, agar Pemerintah Daerah (Pemda) lebih memberikan kemudahan dam proses perizinan saat satwa akan dilepasliarkan ataupun ditrans lokasi. Sebab, berdasarkan pengalaman yang sebelumnya, untuk mengurus izin tersebut, pihaknya membutuhkan waktu sekitar empat bulan. (sutriyati)