Logo (dok. lbhyk)
YOGYAKARTA (kabarkota.com) – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengecam tindakan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta, melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan aparat kepolisian yang mengusir warga di pemukiman Ketingan Baru, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah (Jateng), baru-baru ini.
Terlebih, kata kuasa hukum warga penghuni tanah Kentingan Baru, Lutfy Mubarok, kedatangan aparat gabungan tersebut tanpa pemberitahuan sebelumnya. Mereka berdalih, melakukan penggusuran berdasarkan ganti rugi yang sudah diberikan. Namun demikian, dari lima rumah yang dirobohkan, terdapat satu rumah yang juga dirobohkan, padahal tidak ada kesepakatan ganti rugi sebelumnya.
“Sejumlah warga dan mahasiswa mengalami luka-luka. Selain itu, delapan warga juga sempat ditahan oleh pihak kepolisian pada peristiwa ini,” kata Lutfy, melalui siaran pers, baru-baru ini.
Menurut Lutfy, peristiwa ini merupakan buntut dari sengeketa tanah seluas 15 ribu meter persegi antara warga yang menghuni tanah tersebut dengan enam orang yang mengaku sebagai pemegang sertifikat. Penyelesaian kasus ini menjadi pelik, setelah Pemkot turut campur, dengan berpihak kepada enam orang yang mengaku sebagai pemegang sertifikat.
“Tidak ada yang mengetahui secara persis apa penyebab Pemkot Surakarta berpihak kepada enam orang yang mengaku sebagai pemegang sertifikat tersebut. Padahal klaim kepemilikan sertifikat tersebut tidak pernah dibuktikan secara hukum,” sesalnya.
Karenanya, LBH Yogyakarta menganggap, Pemkot dan Badan Pertanahan Nasional Surakarta tak memperhatikan ketentuan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menyatakan, bahwa hak atas tanah dapat hapus secara hukum.
Secara hukum, lanjut Lutfy, hak atas tanah didasarkan kepada bukti formil dan bukti materil. Surat digolongkan sebagai bukti formil. Dengan demikian bukti surat saja tidak sepenuhnya kuat membuktikan adanya hak atas tanah. Untuk sempurnanya suatu hak, harus terpenuhi bukti materil berupa penguasaan fisik tanah.
“Perlu diperhatikan, Pemegang surat hak tanpa menguasai fisik tanah selama bertahun-tahun, secara hukum haknya dapat gugur. Sedangkan seseorang yang menguasai fisik tanah selama bertahun-tahun dan secara terus-menerus dengan beritikad baik dapat menyampaikan permohonan untuk diberikan hak baru atas tanah tersebut,” tegasnya.
Selain itu, LBH Yogyakarta juga menilai, terbitnya Surat Keputusan (SK) Walikota Surakarta Nomor 845.05/17.2/1/2017 tentang Tim Penyelesaian Hunian Tidak Berizin di Kentingan Baru, Jebres, tak tepat. Surat Keputusan Wali Kota ini menjadi prematur mengingat bahwa pokok persoalan yang sedang terjadi disini adalah sengketa kepemilikan tanah, bukan persoalan kesesuaian antara pemanfaatan dan peruntukannya. Sehingga tidak mungkin didapati Ijin Mendirikan Bangunan sedang pokok sengketa kepemilikan tanahnya masih perlu dibuktikan.
Perihal hunian tempat tinggal, jelas Luthfy, sebagai manusia dan warga negara Inonesia, semestinya warga Kentingan Baru juga memiliki jaminan yang sama. Bukannya mendapat jaminan, warga masyarakat Kentingan Baru justru mendapat paksaan untuk diusir dari tempat tinggalnya.
Hal itu bertolak belakang dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Begitu juga dengan Pasal 40 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.
Dalam ketentuan yang lain, seperti pada General Comment No. 4 tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak (Pasal 11 ayat (1)) Pasal 1 menegaskan bahwa “hak asasi atas tempat tinggal yang layak, yang bersumber dari hak atas kehidupan yang layak, adalah yang utama terpenting untuk penikmatan hak-hak ekonomi, social, dan budaya” dan juga General comment No. 7 (1997) tentang Hak atas Tempat Tinggal yang Layak perihal Pengusiran Paksa, Pasal 16 menegaskan “Pengusiran tidak boleh menjadikan individu-individu tidak berumah atau rawan terhadap pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya. Dimana orang-orang terimbas tidak mampu menyediakan berbagai kebutuhan mereka sendiri, negara harus menyediakan segala ukuran yang tepat, untuk memaksimalkan sumber daya tersedia, untuk memastikan bahwa perumahan, pemukiman, atau akses alternatif atas tanah yang produktif, tergatung kasusnya, tersedia.”
Berpijak dari permasalahan tersebut, LBH Yogyakarta mendesak, agar Walikota Surakarta mencabut SK [Surat Keputusan] Wali Kota Surakarta Nomor 845.05/17.2/1/2017 tentang Tim Penyelesaian Hunian Tidak Berizin di Kentingan Baru, Jebres;
“Kami mendesak jajaran pemerintah dan aparat Kota Surakarta untuk menghormati putusan Pengadilan Tinggi Semarang tanggal 10 Desember 2010 Nomor: 387/Pdt/2010/PT.Smg,” pintanya.
Selain itu, pihaknya meminta agar aparat Kota Surakarta menarik diri dari sengketa ini, dan menyelesaikan sengketa tanah Kentingan Baru ini melalui lembaga peradilan. (Ed-02)